KENAIKAN HARGA KEDELAI MENGANCAM PANGAN
Kedelai (kadang-kadang ditambah “kacang” di depan namanya) adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih diperkenalkan ke Nusantara oleh pendatang dari Cina sejak maraknya perdagangan dengan Tiongkok, sementara kedelai hitam sudah dikenal lama orang penduduk setempat. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.
Mungkin hanya sedikit sekali orang di Indonesia yang tidak mengenal atau belum pernah mengkonsumsi tempe, salah satu produk makanan tradisional yang khas rasa dan proses pembuatannya. Tempe telah dikonsumsi oleh anak-anak hingga orang tua, di pedesaan hingga di meja restauran serta di berbagai etnis di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa tempe merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia meskipun ironisnya, konon hak paten dari beberapa item produk turunan tempe justru tidak dimiliki oleh Indonesia, melainkan Jepang. Tempe, seharusnya menjadi alternatif sumber protein yang harganya tidak lebih mahal dari sumber protein yang lain.
Kedelai, sebagai bahan baku tempe, selain mengandung zat gizi tetapi secara alami mengandung zat anti gizi antara lain Tripsin Inhibitor , Asam Fitat, saponin serta anti gizi yang lain. Tripsin inhibitor adalah senyawa yang menghambat aktivitas Tripsin. Padahal, Tripsin adalah enzim pencerna protein yang dihasilkan oleh pangkreas. Jika Tripsin terblokir oleh Tripsin inhibitor maka aktivitas Tripsin dalam mencerna protein menjadi terhambat, artinya protein yang terdapat dalam makanan menjadi tidak dapat dicerna oleh tubuh atau sia-sia terbuang. Sedangkan Asam Fitat akan mengikat mineral seng, besi dan kalsium dalam makanan dan berdampak pada ketidakketersediaan mineral tersebut pada makanan. Saponin banyak terdapat pada kulit kedelai yang menyebabkan rasa pahit. Sebenarnya, senyawa-senyawa anti gizi tersebut di atas dapat dinetralisir/inaktivasi dengan pemanasan yang sempurna.
Selain kedelai, komponen produksi tempe yang lain adalah bahan bakar (minyak tanah/kayu), air (PDAM), listrik. Permasalahannya adalah komponen produksi tersebut di atas sudah mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan, sedangkan harga jual tempe khususnya di berbagai pasar tradisional di Surabaya relatif tidak berubah atau sulit di naikkan. Kedelai yang digunakan pada umumnya adalah kedelai import (Amerika) yang harganya berfluktuatif ,tergantung dari nilai tukar dollar terhadap rupiah. Sekarang ini sekitar Rp. 7.000-an/Kg. Akibatnya banyak pengusaha/pengrajin tempe (terutama yang pemula) yang berimprovisasi pada tahapan proses pembuatan untuk menekan biaya produksi. Yang penting bagi para pengrajin, “pokoknya” tempe jadi. Tetapi mungkin karena ketidaktahuan mereka, justru improvisasi yang mereka lakukan akan menghasilkan produk tempe yang berkualitas rendah dan bahkan bisa jadi bersifat anti gizi.
Improvisasi yang dilakukan para pengrajin, terutama pengrajin baru antara lain dalam hal pemanasan. Untuk menghemat jumlah pemakaian bahan bakar, mereka hanya melakukan satu kali pemanasan dari normal dua kali pemanasan serta waktu pemanasan diperpendek. Biasanya mereka merendam kedelai dahulu, kemudian dipisahkan kulitnya baru direbus. Memang kedelai yang direndam akan menyerap air dan lebih cepat empuk kalau direbus. Tetapi, mungkin tanpa mereka sadari bahwa percepatan waktu pemanasan dan pengurangan frekwensi pemanasan akan menyebabkan tidak sempurnanya proses inaktivasi senyawa anti gizi alami pada kedelai. Tripsin inhibitor serta asam fitat masih berada dalam bentuk aktif. Hal ini akan menyebabkan keberadaan protein dan mineral yang masuk ke dalam tubuh dari sumber makanan yang lain menjadi muspro. Dan ini akan semakin memperparah kondisi kurang gizi dari masyarakat kebanyakan .
Sebenarnya hal ini juga berdampak negatif bagi konsumen tempe, tetapi masalahnya adalah konsumen tidak menyadari, kalau sebenarnya mereka sangat dirugikan, karena tidak mengalami dampak langsung setelah mengkonsumsi tempe berkualitas rendah, seperti keracunan makanan misalnya. Yang penting bagi mereka adalah harganya murah. Konsumen mungkin tidak mengetahui/menyadari bahwa tempe yang mereka konsumsi telah mengalami degradasi kandungan protein serta kandungan vitamin B12. Juga justru tempe yang mereka konsumsi bisa jadi berpotensi dapat menyebabkan hilangnya protein dan mineral dari sumber makanan lain yang dikonsumsi. Sederhananya begini dengan mengkonsumsi tempe, kita bisa tidak mendapat tambahan protein dan mineral tetapi malah kehilangan zat gizi tersebut dari sumber makanan yang lain.
Jadi, kenaikan harga bahan baku kedelai sangat berdampak pada kestabilan pangan dan kestabilan proses pembuatan yang dilakukan oleh para pengrajin tempe. Sedangkan dampak secara tidak langsung bagi konsumen adalah semakin rendahnya kualitas tempe yang dihasilkan, yang diikuti dengan semakin rendahnya kualitas dan kuantitas zat gizi yang diasup. Mengingat nilai ekonomis, budaya dan gizi tempe yang cukup strategis, maka permasalahan harga bahan baku kedelai yang semakin tidak terjangkau, akan menjadi permasalahan jangka panjang yang cukup serius dan harus segera diatasi, karana banyaknya personal yang terlibat dalam industri ini.
Beberapa langkah yang mungkin bisa dilakukan adalah pertama, dalam jangka pendek instansi terkait harus dapat menghentikan laju kenaikan harga kedelai saat ini. Juga harus ada subsidi untuk harga kedelai, paling tidak untuk sementara ini. Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) mungkin dapat lebih dioptimalkan perannya tidak sebatas pada hanya sebagai penyalur kedelai saja, tetapi juga sebagai pembina proses dan inovasi produk olahan tempe misalnya. Selain itu dalam jangka panjang perlu dilakukan pembinaan kepada para pengrajin tempe mengenai standarisasi proses pembuatan yang normal sehingga dihasilkan produk yang berkualitas standart. Pembinaan ini harus selalu terpogram rapi, terus menerus dan berkelanjutan. Mungkin hal ini bisa dilakukan oleh dinas terkait, misalnya Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Kesehatan atau melibatkan kalangan akademisi.
Sumber : http://www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=168